Lanjutan
Pagi ini angin berhembus dengan lirih menyambut hari baru. Kabut kehidupan masih menyelimuti tempatku berlabuh. Sang surya tak mampu menembus benteng kerajaan awan. Kedua biji mata ini melihat Ranu Kumbolo yang tertutup misteri menjadi menawan. Layaknya roda kehidupan, perjalanan kami harus segera melangkah maju menghadapi segala rintangan. Tak perlu takut karena tangan Tuhan memberi keselamatan.
Sarapan sederhana pagi ini dibuat oleh Lina dan Vero. Tentu saja tangan-tangan pria ikut membantu mempersiapkan kompor, membersihkan peralatan makan di dekat tenda, dan ada yang mengambil air dari Ranu Kumbolo baik untuk keperluan memasak atau untuk bekal kami melanjutkan perjalanan.
Perut kenyang, semua peralatan dibersihkan dan dirapikan. Pasak-pasak kami lepas, tenda kami lipat. Mas Karno yang semalam tidur di pos penjagaan bersama porter yang lain, datang membantu persiapan kami. Matahari mulai melangkah menuju atas kepala, kami melangkah melewati tanjakan cinta dengan sejuta mitosnya. Terlihat mudah didaki, sudut kemiringan tanjakan membuat otot-otot di pahaku mengeras.
Dari puncak tanjakan cinta, aku melihat keindahan Ranu Kumbolo yang bersanding di bawah lembayung langit biru dan pepohonan yang menjaga kelestarian. Di balik sisi yang lain, aku melihat ada 2 jalan setapak menuju Oro-oro Ombo. Jalan datar memutar atau jalan menurun langsung menuju tanah lapang. Aku lebih memilih mengambil resiko dengan menuruni bukit. Tepat di bawah bukit itu ada lapangan dengan bunga-bunga lavender berwarna keunguan.
Meski panas matahari memanggang sebagian kulit coklatku, aku merasa sejuk ketika melewati jalan setapak di tengah-tengah padang lavender. Para pendaki dari kota-kota yang juga segera melangkah bersama rombongannya. Pemandangan lepas seolah-olah berganti menjadi pepohonan raksasa. Manusia ini tampak bagaikan semut yang melintasi diantara pepohonan purba.
Pohon-pohon yang anggun ini meneduhkan perjalanan kami namun setapak demi setapak jalan yang kulalui semakin menanjak hingga sampailah di suatu tempat yang bernama Cemoro Kandang. Di sini aku meletakkan bebanku, kaki kusandarkan di pohon. Di sini aku melihat ada reuni unik suatu komunitas persaudaraan. Reuni mahasiswa dari suatu universitas di kota metropolitan bagian Timur. Mereka mengingat kenangan di saat masih mahasiswa. Pasangan dan anak-anaknya pun berjalan saling mengiringi seperti kawanan angsa yang selalu bersama keluarganya.
Gadis kecil yang berjalan bersama ibunya terlihat kesal berjalan jauh tapi tempat yang dituju belum sampai juga. Ibu yang bijak itu mencoba membujuk anaknya bahwa di atas sana ada pohon coklat yang manis dan perjalanan tinggal sedikit lagi. Bahasa anak saat ini memang berbeda dengan bahasa anak jaman dahulu, tentu saja gadis yang pintar ini tak menggubris perkataan “bohong” ibunya.
Aku juga melihat adik yang lebih kecil dilatih untuk berjalan jauh, anak kecil ini terlihat kecapaian. “Tinggal 10 langkah lagi kita istirahat”, ucap sang ayah. Namun di langkah yang kedua, bocah imut sudah berhenti sambil memeluk pohon. Orang tua yang hebat ini tidak ada yang menggendong anaknya, sesekali memberi minum dan memberi petunjuk cara bernapas yang benar untuk menghemat stamina. Mereka mengajarkan hidup yang keras, namun selalu mendampingi dengan sabar sambil merawat dan mencukupi mereka. Suatu komunitas yang kuanggap teladan.
Semangat yang telah pudar lalu menjadi kembali bersinar melihat itu. Bukan kesombongan karena aku berada di jalur pendakian ini, namun aku bersyukur mendapat hikmah yang Tuhan berikan dari mereka. Aku melangkah meninggalkan jejak-jejak kakiku yang jauh terhapus oleh jejak kaki pendaki yang lain. Sampailah di pos yang bernama Jambangan. Dari tempat kecil ini, aku dapat melihat Puncak Mahameru yang berdiri megah di singgasana tertinggi Pulau Jawa.
Perlahan-lahan aku menyambung langkah ini menuju camping ground terakhir. Tumbuh-tumbuhan mulai terlihat lebih pucat karena menghadapi derita hidup di lereng Mahameru. Entah kenapa beberapa pendaki menganggap tempat ini memiliki mistis yang kuat, aku hanya berpikir positif karena Tuhan selalu besertaku. Kalimati adalah nama kawasan ini.
Tenda-tenda kami berdirikan bersama di dekat pepohonan. Kawasan ini tidak terasa dingin seperti saat di Ranu Kumbolo. Makanan pun sudah disajikan untuk mengisi perut kami yang sudah lama berjalan. Tidur malam ini tenda kami diguyur hujan sehingga udara pegunungan semakin terasa lebih hangat. Pukul 9 malam kami harus segera terlelap karena pada pukul 12 malam kami harus bangun melanjutkan puncak dari perjalanan.
Rute pendakian hari ini : Ranu Kumbolo – 2,5 km Cemoro Kandang – 3km Jambangan – 2km Kalimati.
Bersambung
JT 13 08 05